KPA (Kursus Pendidikan Agama) Wilayah DKI Jakarta tahun ini memiliki kesan yang sangat berarti untuk saya yang kebetulan betugas sebagai mentor, juga bagi peserta dan seluruh panitia yang terlibat didalamnya.
Bagaimana tidak, secara sadar Kami semua menjadi bagian dari penggenapan Wahyu Hz. Masih Mau’ud (as), wahyu yang berbunyai “Innii uhaafidhu Kulla man Fiddaari” yang artinya “Sesungguhnya Aku (Allah swt.) akan menyelamatkan setiap orang yang tinggal di dalam dinding rumahmu.” Dan penggenapannya menjadi bagian penting dalam cerita kami.
Wahyu yang beliau terima ini sudah berusia lebih dari 100 tahun. Sebuah janji dari Allah (swt) untuk menyelamatkan para pengikutnya dari Wabah Pes yang melanda penduduk Negeri India. Dimana kala itu Allah (swt) menghendaki untuk memperlihatkan suatu tanda kasih sayang dari langit untuk para pengikut sejati Hz. Imam Mahdi. Namun, kami percaya penggenapannya pun masih berlaku untuk para pengikut sejatinya di masa ini.
Kisah kami bermula di malam terakhir kami melaksanakan KPA. Kebetulan tahun ini kami melaksanakan KPA berlokasi di Pantai Carita, Anyer. Malam itu, Sabtu 22 Desember 2018, Panitia telah menyiapkan acara malam terakhir kami dengan sedemikian rupa. Malam itu kami mengadakan acara yang disebut dengan “Malam Keakraban”, mendengar tema yang diusung saya berekspetasi bahwa acara ini akan dilaksanakan di ruangan terbuka misalnya di Pantai atau paling tidak di Taman depan hotel kami menginap. Karena sebelumnya saya melihat perlengkapan barbeque sudah siap sedia di Taman tersebut. Sehingga tidak heran saya menganggap bahwa untuk kegiatan ini akan dilaksanakan di Taman dengan suasana yang mengasikan.
Namun dugaan saya salah, rupanya untuk kegiatan Malam Keakraban ini dilaksanakan di Aula Hotel, sedikit kecewa namun kekecewaan kami terobati karena Panitia menjanjikan untuk tetap melaksanakan ‘barbeque’ di taman tersebut dengan menu Kambing Guling setelah acara Malam Keakraban di Aula Hotel selesai.
Meskipun Malam Keakraban ini dilaksanakan di dalam ruangan namun seluruh peserta sangat menikmati acara ini, dalam acara ini panitia menampilkan video pendek yang mewakili kegiatan peserta KPA 3 hari sebelumnya. Tawa kegembiraan serta riuh suara anak-anak peserta KPA hadir karena melihat video tersebut, anak-anak saling menertawai teman-temannya atau sekedar menertawai diri mereka yang berada dalam video tersebut. Tidak hanya peserta, saya sebagai mentor pun larut dalam acara Malam Keakraban ini.
Mln. Muhammad Ali yang bertugas untuk membawakan acara ini pun tidak kalah seru, setelah video ditampilkan beliau memberikan kesempatan untuk anak-anak memberikan pesan dan kesannya setelah mengikuti kegiatan ini. Kepolosan pesan dan kesannya yang disampaikan membuat kami tertawa, sehingga malam itu kami benar-benar larut dalam suasana kegembiraan.
Hingga pukul 22.00 WIB acara malam keakraban pun selesai, namun kami masih ingin melanjutkan keceriaan malam terakhir kami. Ya, terbayang acara ‘barbeque’ dengan menu kambing guling akan mengakhiri kegiatan KPA ini dengan penuh kesan yang menggembirakan. Namun, suasana kegembiraan seolah berubah ketika panitia membatalkan acara barbeque di Taman dan menghimbau kami para mentor dan para peserta untuk segera masuk ke kamar jangan ada yang berkeliaran lagi. Terlihat panitia dihiasi wajah sedikit ketakutan dalam menyampaikan pesan tersebut. Saya pribadi pun menyadari akan hal itu, namun tidak terpikir selintas pun kejadian apa yang terjadi di luar sana sehingga membuat panitia sedikit ketakutan. Saya dan anak-anak anggota hizeb pun bergegas untuk masuk kamar dan bersiap untuk istirahat, untuk memulai hari esok dengan Tahajud.
Pukul 23.30 handphone saya berdering, ternyata orang tua saya yang menelepon. Dikarenakan saya mengantuk sempat telpon itu saya tidak angkat. Namun, orang tua saya pun mencoba menghubungi saya kembali dan terpaksa saya jawab telepon tersebut pikir saya mungkin ada suatu hal yang penting. Saya menjawab telepon tersebut dengan kondisi sangat mengantuk, mamah saya menginformasikan terkait bencana Tsunami yang menerjang dan menanyakan kondisi kami di sana.
Pada saat itu saya sama sekali tidak khawatir karena memang kami semua dalam kondisi yang aman dan anak-anak pun sudah ada yang tidur lelap walaupun masih ada yang belum tidur. Mamah menghimbau saya untuk hati-hati jangan sampai tidur lelap namun saya tidak mengindahkan dikarenakan kondisi saya yang waktu itu sangat mengantuk dan melihat kondisi kami semua aman-aman saja. Saya memastikan mamah saya untuk tenang saja dan saya harus melanjutkan tidur karena besok harus Tahajud.
Sebelum saya melanjutkan tidur, saya mengecek whatsaap grup panitia untuk memastikan hal apa yang terjadi, namun di WA Grup tersebut hanya berisi berita gelombang tinggi dan tidak menimbulkan Tsunami. Jujur saya tidak kuasa untuk mengklik berita tersebut untuk sekedar membacanya sepintas, dan akhirnya saya tertidur pulas kembali.
Pukul 03.00 WIB saya terbangun dan bersiap membangunkan anak-anak untuk melaksanakan shalat Tahajud. Kondisi di luar hujan turun sangat deras, sedikit khawatir untuk melaksanakan salat Tahajud berjamaah karena kami harus menggunakan payung untuk sampai ke tempat dimana kami salat berjamaah. Salah satu anak meminta untuk salat di kamar dan saya memastikan keluar sebentar untuk melihat kondisi sekitar, benar saja kondisi di luar sangat sepi tidak seperti biasanya para mentor dan anak-anak lalu lalang untuk menuju ke tempat shalat. Sehingga saya memutuskan untuk salat Tahajud di kamar, hujan masih turun dengan sangat deras di waktu Subuh.
Terpaksa saya dan anak-anak pun melanjutkan subuh berjamaah dan dars al-Qur’an di kamar. Disaat kami sedang dars Qur’an tiba-tiba panitia mengetuk pintu kamar kami dan menghimbau untuk segera packing dan bersiap kebawah karena kepulangan akan dipercepat.
Saya sedikit menyadari dipercepatnya kepulangan kami ini, namun rasa khawatir berlebihan tidak terlintas dalam benak saya kala itu. Di saat saya sedang bersiap-siap tiba-tiba teman saya menelepon dan menanyakan kabar saya, karena teman tahu bahwa saya sedang ada acara di Pantai Carita. Saya heran mengapa sampai dia sibuk menanyakan kabar sedangkan kami semua disini aman2 saja.
Setelah kami semua selesai packing, saya dan anak-anak turun untuk sarapan pagi. Hingga sampai saat itu saya masih belum mengetahui kondisi pasti yang terjadi. Salah seorang mentor menghampiri saya dan menceritakan kondisi yang terjadi pada malam itu. Mentor tersebut menceritakan kepada saya terkait evakuasi kamar yang berada di lantai 1 yang berisi para nashirat, untuk pindah kekamar yang diisi oleh para anggota Lajnah. Kebetulan pada saat itu kamar anggota hizeb saya tidak diketuk untuk dimasuki anggota nashirat, jadi pada saat itu kami tidak tahu menahu apa yang terjadi. Saat itu kekhawatiran pun belum terlalu menyelimuti hati dan pikiran saya, karena memang suasana dan kondisi hotel yang pagi itu terlihat tenang namun sedikit sepi.
Pagi hari pun orang tua tidak henti-hentinya menelepon dan menanyakan kondisi kami, saya yang kala itu masih tenang pun mencoba menenangkan orang tua saya dirumah dan mohon doa untuk keselamatan kami semua. Pagi itu handphone saya terus saja berbunyi, entah itu dari orang tua, saudara, teman, om dan tante hingga orang tua dari para peserta menanyakan kondisi kami. Jawaban saya saat itu tetap, kami disini semua aman-aman saja memang untuk kepulangan akan dipercepat. Hanya itu yang bisa sampaikan kepada handai taulan yang mencoba menghubungi. Hingga sampai dimana ayah saya meminta saya untuk share lokasi saya saat itu, dan beliau kaget bukan main karena lokasi kami yang benar-benar berada di dekat pantai dan termasuk salah satu daerah rawan terdampak Tsunami. Saat itu ayah saya mencoba menghubungi saya melalui sambungan video untuk memastikan yang saya katakan.
Saya beri tahu kondisi yang terjadi di lokasi sambil sesekali menjelaskan kondisi lokasi kami. Saya menjelaskan kepada ayah saya bahwa disini sepi, tidak ada puing-puing yang berserakan dan menjelaskan kondisi depan hotel kami yang kaca-kacanya pecah. Beberapa kali hanya ambulance yang lewat dengan sirine nyaring menyesakan kuping, itu saja yang bisa saya katakan karena memang itulah kondisi yang terjadi di lokasi pada saat itu.
Ayah saya mencoba tenang, namun dilihat dari raut mukanya beliau gelisah dan berpesan untuk segera pulang karena beliau mendengar berita akan ada tsunami susulan di sore hari. Saya tidak khawatir akan hal tersebut karena memang toh kepulangan kita akan dipercepat dan bus yang menjemput kita sudah berangkat dari Jakarta di pagi hari. Pikir saya kami tidak akan sempat untuk melaksanakan penutupan. Jadi, saya yakin sudah dapat meninggalkan lokasi sebelum sore hari.
Bus yang ditunggu-tunggu belum dapat tiba di lokasi, panitia memutuskan untuk mengadakan penutupan sambil kita menunggu bus yang akan menjemput kita. Penutupan dan pembagian hadiah dilaksanakan, terlihat raut kegembiraan, suka cita masih menyelimuti mereka di akhir rangkaian kegiatan KPA tahun ini. Alhamdulilaah…
Penutupan selesai dilaksanakan namun bus yang di tunggu kedatangannya belum datang. Dering telepon, pesan masuk Whatssap baik itu dari pribadi atau grup menanyakan dan memastikan kepulangan kami. Hingga saya diinformasikan bahwa akses jalan tertutup dan bus kami tidak dapat sampai ke lokasi. Namun, panitia tidak hentinya berikhtiar mencari cara terbaik agar kami dapat meninggalkan lokasi secepatnya.
Hingga siang hari panitia belum juga menemukan jalan keluar serta solusi untuk kepulangan kami. Panitia menginformasikan akan mencoba menyewa angkot, bus atau truck sekitar yang bisa mengevakuasi kami ke tempat aman dimana bus kami sudah menunggu. Namun, hal itu masih saja tidak bisa dilakukan.
Siang hari itu ada satu bus gegana yang lewat dan panitia mencoba menghentikan untuk meminta tumpangan. Alhamdulilah, mereka bersedia dengan kondisi truck terbuka dan hanya satu unit tidak memungkinkan untuk mereka mengevakuasi kami semuanya. Jadi, pada saat itu panitia memutuskan untuk 3 hizeb nashirat yang dievakuasi terlebih dahulu. Panitia menginformasikan truck tersebut akan kembali lagi untuk menjemput kami. Alhamdulilah, sedikit lega mendengar kabar tersebut. Sekarang kami hanya butuh bersabar hingga 1-2 jam menunggu truck tersebut datang lagi.
Waktu terus berjalan namun truck yang ditunggu kedatangannya belum juga datang. Sudah lebih dari 4 jam kami menunggu namun belum ada kabar. Anak-anak mulai bosan menunggu dan suasana mulai tidak kondusif. Para mentor mengkondisikan anggota hizb mereka untuk tetap tenang, berdoa dan berzikir. Namun, suasana masih saja belum bisa kondusif mungkin karena mereka sudah terlalu lama menunggu kami memaklumi semua itu. Tak bisa dipungkiri kegelisahan tidak hanya melanda peserta KPA namun kami para mentor, pantia dan mubaligh pun turut dirundung kegelisahan.
Teringat pesan ayah saya yang mewanti-wanti saya untuk cepat pulang, dikarenakan akan ada tsunami susulan. Panitia pun mengirimkan berita terupdate ke grup yang menginformasikan kemungkinan kami masih akan bermalam di hotel. Perasaan saya pun mulai gelisah bagaimana saya memberitahukan kepada ayah saya, beliau pasti tidak terima dengan opsi tersebut. Ayah saya pasti akan sangat marah dan ayah saya merupakan non ahmadi, yang pasti akan lebih sulit untuk menerima opsi tersebut. Dan satu hal yang terlintas dari pikiran saya adalah ayah saya tidak lagi mengijinkan saya untuk mengikuti acara kejemaatan lagi. Saya sangat takut akan hal tersebut lebih takut dari pada berita tsunami susulan yang akan melanda.
Dalam hati saya berdoa semoga Allah (swt) memberikan jalan keluar terbaik untuk kami semua, kami percaya bahwa Allah (swt) akan menolong dengan pertolongan yang khas kepada kami semua sebagai murid Imam Mahdi.
Waktu menunjukan pukul 16.00 WIB, saya pun tidak bisa tenang sesekali saya turun ke bawah melihat kondisi luar lalu saya naik ke lantai 2 lalu turun lagi naik lagi begitu terus. Saat itu tepat pukul 16.30 WIb saya yang sedang berada di lantai 2 hotel, berdiri ke arah jendela dan menghadap tepat kearah pintu gerbang hotel, berharap bus truck atau apa saja dapat mengevakuasi kami secepatnya dari sini.
Benar saja, pada saat itu saya melihat 3 bus Brimob yang terisi penuh anggota Brimob dan mobil pengawal memasuki pintu gerbang hotel. Melihat hal tersebut saya senang bukan main, rasanya seperti melihat sumber air di padang pasir di tengah kehausan yang melanda.
Seketika itu saya berlari dan berteriak sambil menyisiri lantai 2 hotel untuk memastikan tidak ada anak yang tertinggal. Alhamdulilaaah, bus sudah datang ayoo anak-anak kita turun ke bawah. Mendengar hal tersebut anak-anak pun senang dan mereka pun berlari sambil membawa tas mereka dan segera turun ke bawah.
Namun rasa senang tersebut tidak berlangsung lama, segera saya mendapatkan informasi dari seorang panitia bahwa bus tersebut bukan datang untuk menjemput kita. Bus itu datang untuk memberikan pertolongan di daerah yang terkena dampak Tsunami tersebut, dan mereka kesini hanya untuk sekedar parkir dan melaksanakan apel. Saya baru tersadar pantas saja bus itu terisi penuh dengan anggota brimob.
Mendengar kabar tersebut saya bersedih tidak terasa air mata pun jatuh, saya tidak kuasa untuk memberitahukan anak-anak terkait berita ini. Namun, tak tahu bagaimana ceritanya akhirnya kami dapat dievakuasi menggunakan bus tersebut. Salah seorang komandan kaget melihat kami yang begitu banyak masih berada di sini belum di evakuasi.
Segera kami baris per hizeb dengan membawa tas dan memasuki bus tersebut, anggota Brimob pun dengan siap sedia membantu kami membawakan tas untuk dimasukan ke dalam bagasi bus. Semuanya begitu cepat tidak sampai 10 menit kami semua sudah masuk bus dan dapat dievakuasi. Saya pun masih belum mengetahui dengan pasti apakah bus ini memang datang untuk menjemput kami atau memang secara tidak sengaja. Entahlah,, namun untuk saat ini kami hanya dapat mengucapkan syukur Alhamdulilaah.. akhirnya kami semua masuk bus dan meninggalkan hotel tersebut.
Di dalam bus tersebut kami semua disuguhi musik dengan volume sangat keras hingga telinga kami sedikit pengang mendengarnya. Hal itu tidak masalah mungkin ini cara mereka untuk memberikan hiburan kepada kami agar kami tidak mendengar suara sirine bus dan mobil pengawalan yang sedikit menakutkan di sepanjang perjalanan nanti.
Sepanjang perjalanan kami baru menyadari bahwa musibah Tsunami yang terjadi parah seperti ini. Di sepanjang perjalanan ini lah kami baru mengetahui kondisi yang sebenarnya terjadi. Kami mulai melihat rumah sekitar yang rusak, mobil yang hanyut di kali, ibu-ibu yang menangis di pinggir jalan hingga mayat yang sudah terbungkus berjejer di halaman puskesmas. Kami semua terenyuh melihatnya bagaimana bisa kami semua aman sedangkan memang kondisi yang terjadi bisa separah ini. Pantas saja orang tua dan orang terdekat kami sepanik itu, jika kami mengetahui kondisi yang terjadi sebelumnya, mungkin di Hotel kami tidak akan bisa setenang itu.
Tujuan kami selanjutnya adalah Polres Pandeglang. Disana bus sudah menunggu kami untuk pulang ke Jakarta. Sepanjang jalan orang-orang melihat kami dengan keheranan, mungkin mereka bertanya-tanya siapa kami mengapa kami mendapatkan pengawalan seperti ini.
Jalan menuju Polres Pandeglang macet di kedua arah, namun karena kami mendapatkan pengawalan akhirnya kami dapat membelah kemacetan tersebut. Tidak dapat dibayangkan jika kami berjalan tanpa pengawalan mungkin bisa sampai esok hari kami baru bisa sampai ke Jakarta. Alhamdulilah, syukur tiada hentinya kami ucapkan.
Tepat pukul 20.00 kami sampai di Polres Pandeglang. Seorang panitia pun menangis tidak kuasa melihat pertolongan khas Allah (swt) tersebut kepada kami semua. Seketika saya dan seorang mentor lain pun haru mendengar hal tersebut, seorang Mubaligh pun meneteskan air mata di dalam bus yang akan membawa kami ke Jakarta.
Pada saat itu Mubaligh memberikan sedikit pencerahan terkait peristiwa yang terjadi pada kami semua, beliau berkata bahwa kami semua menjadi penggenapan wahyu Hz. Masih Mau’ud (as), “Innii uhaafidhu Kulla man Fiddaari.” Maa syaa Allah terharu mendengarnya. Pukul 22.30 kami pun tiba di Jakarta, terlihat para orang tua dengan wajah gembira dan haru menyambut kedatangan bus kami.
Rangkaian peristiwa pun membuka mata hati dan menyadarkan kami bahwa inilah pertolongan khas Allah Ta’ala kepada kami semua sebagai murid Imam Mahdi. Mulai dari ketenangan yang diberikan Allah kepada kami, hotel yang sama sekali tidak terkena dampak tsunami, hingga pertolongan bus Brimob yang tidak di sangka.
Hotel yang pada pagi hari itu sepi tidak ada warga, hanya lalu lalang mobil ambulance pun belum cukup membuat kami khawatir pada saat itu. Kami baru diinfokan sepinya hotel tanpa aktivitas warga pun dikarenakan warga di daerah tersebut sudah dievakuasi dari lokasi, dan saat itu kami masih di sana hingga sore hari.
Hotel tempat kami menginap sama sekali tidak terkena dampak tsunami padahal hanya berjarak 50 meter dari bibir pantai. Dan ternyata kami baru mengetahui bahwa Tsunami sebenarnya sudah bergerak ke arah hotel yang kami inapi hingga mencapai jalan aspal namun seketika surut kembali.
Menurut informasi hotel di seberang kami terkena dampak Tsunami, dan ada 2 korban meninggal karena musibah tersebut. Semoga Allah (swt) Menerima iman dan Islamnya para korban.
Hingga pertolongan Allah (swt) atas kami melalui bus Brimob untuk proses evakuasi dan pengawalannya, membuat kami merinding mengingatnya. Teringat kutipan dari seorang Mubaligh yang mengatakan “Ketika semua pintu ikhtiar telah tertutup dan nampak seolah-olah tidak ada jalan keluarnya. Tiba-tiba Allah menurunkan pertolongan khasnya”. Ya, inilah pertolongan khas Allah Ta’ala kepada kami.
Rangkaian peristiwa KPA Wilayah DKI Jakarta tahun ini sangat menggetarkan hati, semua kejadian dan peristiwa yang terjadi meningkatkan kerohanian kami. Tidak hanya saya sebagai seorang mentor namun segenap peserta KPA pun menyadari pertolongan Allah (swt) kepada kami.
Tidak hentinya mereka menceritakan kejadian ini kepada temannya, dan tidak sedikit dari mereka yang bertambah keimanannya dan mereka semakin menyadari bahwa Allah (swt) beserta pengikut sejati Hz. Imam Mahdi (as). Maa syaa Allah saya sangat senang mendengarnya.
Penulis : Mutiara Nurdibah (Anggota Lajnah Imaillah Jakarta Barat)