“Siapapun yang mengucap, ‘Tiada yang berhak disembah selain Allah’, menghadap ke arah Kiblat (Makkah) saat shalat, shalat seperti yang kita lakukan, serta memakan hewan Qurban dari kita, maka dirinya adalah seorang Muslim, dan memiliki hak serta kewajiban yang sama seperti muslim lainnya.” (Bukhari)
INGGRIS – Seorang penjaga toko Ahmadi, Mr. Asad Shah, baru-baru ini ditikam hingga meninggal di Glasgow, Inggris. Tuan Tanveer Ahmad, seorang Muslim Sunni yang berasal dari Pakistan, mengakui pembunuhan tersebut dilakukannya karena Asad telah “menghina Islam.” Dalam pandangannya, Asad adalah seorang penghina agama. Kelompok ekstrimis Sunni, Almi Majlis Tahaffuz Khatme Nubuwat (AMTKN), diketahui memiliki hubungan dengan Al Qaeda, mengumumkan sebuah pesan berisikan ucapan selamat kepada seluruh umat Muslim atas terbunuhnya Asad. Beberapa hari kemudian, beberapa pamflet ‘Bunuh Para Ahmadi’ ditemukan di Masjid kelompok tersebut yang berlokasi di Stockwell. Beberapa kelompok Sunni di Pakistan juga memuji Tanveer sebagai pahlawan Islam dan memberi selamat kepada para Sunni atas “aksi keberanian” tersebut.
Pasca aksi pembunuhan tersebut, Majelis Muslim Britania (Inggris) menerbitkan pengumuman yang menjelaskan bahwa mereka tidak akan mengakui Mr. Asad Shah sebagai seorang Muslim. Seorang akademisi dari King’s College, Tuan Shiraz Maher juga mengutarakan pendapat yang sama; menanyakan bahwa apakah ada yang keberatan jika dirinya juga mengangggap bahwa Mr. Asad Shah bukanlah seorang ‘Muslim sejati’? Setelah aksi pembunuhan tersebut, muncul sebuah pengumuman yang mengajak seluruh kaum Sunni untuk memboikot seluruh Muslim Ahmadi dan memutuskan seluruh hubungan terhadap mereka, yang dipampangkan di Masjid terbesar kaum Sunni di Slough, Inggris, yang berbunyi “Para Qadiyani (istilah mereka untuk Muslim Ahmadi)… bukanlah Muslim,”.
Ketika pembunuhan terhadap Tuan Asad Shah telah menyatukan berbagai komunitas dalam solidaritas, hal tersebut juga menampakkan adanya fenomena sektarian yang mendalam, pelik, dan mengganggu kepada khalayak umum.
Para Muslim Ahmadi, yang merupakan organisasi Muslim terbesar di dunia, telah lama dipersekusi di banyak negara yang mayoritas Sunni. Pada 1974, Pakistan menetapkan dalam undang-undangnya bahwa para Ahmadi adalah kelompok minoritas non-muslim di negara itu. Pada 1984, berbagai peraturan yang membatasi kebebasan beragama bagi mereka terus dikeluarkan. Sejak saat itu, banyak muslim Ahmadi – termasuk tiga paman saya – dipenjara karena membaca Al-Qur’an, Shalat, mengumandangkan Adzan, menyebut diri sendiri sebagai Muslim, dan lainnya. Menariknya, saat Tuan Toaha Qureshi dari Masjid Stockwell yang “terkenal kejam” diberi pertanyaan mengenai adanya hukum yang menindas para Ahmadi tersebut, dirinya dengan sungguh-sungguh menimpakan kesalahan pada para korban itu sendiri dengan berkata, “Tidak benar (bahwa mereka hidup dalam ketakutan). Itu keinginan mereka sendiri, mereka kesini (Inggris) untuk mencari suaka politik, tidak lebih,” menurutnya.
baca juga: [feed url=”http://warta-ahmadiyah.org/tag/inggris/feed/” number=”3″]
Tidak hanya di Pakistan, Arab Saudi juga melarang para Ahmadi untuk bekerja secara terang-terangan, Indonesia memiliki hukum ketat yang membatasi kebebasan beragama bagi para Muslim Ahmadiyah. Dasar dari penindasan ini adalah pandangan Sunni garis keras (yang juga diyakini oleh sebagian pemuka Syiah) bahwa ada beberapa aspek yang membuat para Ahmadi tidak pas disebut Muslim. Yang pada akhirnya menimbulkan pertanyaan, siapakah sebenarnya Muslim sejati? dan siapa yang memiliki otoritas untuk menyebut Muslim lain sebagai ‘kafir?’
Saat seseorang masuk Islam, Nabi Muhammad SAW – pendiri Agama Islam – hanya mensyaratkan mereka untuk mengucap syahadat atas Allah sebagai Tuhan Yang Maha Esa, serta kebenaran atas kenabian beliau. Tidak ada persyaratan lainnya. Hal tersebut yang membuat kaum Muslim percaya bahwa Kalimah Syahadat adalah dasar dari keyakinan Islam. Pertanyaan mengenai siapa yang dapat disebut sebagaI Muslim muncul pertama kali saat sensus pertama di Madinah. Nabi Muhammad SAW meminta bahwa siapapun yang menyebut dirinya Muslim untuk dihitung sebagai Muslim. Pengakuan atas kebenaran Islam adalah cukup untuk membuat mereka untuk terhitung sebagai bagian dari komunitas Muslim. Tidak ada tes keagamaan untuk mengukur tingkat “kemusliman” seseorang. Rasulullah SAW paham betul bahwa ada pula kaum hipokrit yang hidup di Madinah, sebagian dari mereka bahkan berkonspirasi melawan beliau. Rasulullah SAW bahkan mengetahui bahwa mereka bahkan tidak mau meyakini beliau sebagai nabi sejati. Meskipun demikian, beliau tidak melarang mereka untuk mengaku sebagai Muslim, beliau bahkan mempersilahkan mereka untuk beribadah di Masjid, bahkan tidak pernah sekalipun melarang apalagi menghukum mereka dengan alasam “berperilaku sebagai muslim”, beliau bahkan berdoa bersama mereka, dan mendoakan mereka.
Ada sejarah lain yang memberikan secercah pencerahan terhadap masalah ini. Nabi Muhammad SAW diketahui telah bersabda:
“Siapapun yang mengucap, ‘Tiada yang berhak disembah selain Allah’, menghadap ke arah Kiblat (Makkah) saat shalat, shalat seperti yang kita lakukan, serta memakan hewan Qurban dari kita, maka dirinya adalah seorang Muslim, dan memiliki hak serta kewajiban yang sama seperti muslim lainnya.” (Bukhari)
Pada hadist yang lebih detil lagi, Nabi Muhammad mendefinisikan Islam serta prinsip dasar keimanan:
“Suatu hari Rasulullah SAW sedang duduk bersama para sahabat, seorang pria datang dengan berjalan dan bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Iman itu?” Rasulullah SAW bersabda, “Iman adalah percaya kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab-Nya, Rasul-rasul Nya, pertemuan dengan Nya, serta Hari Kebangkitan.” Pria tersebut bertanya, “Ya, Rasulullah, apakah Islam itu?” Rasulullah SAW menjawab, “Islam adalah menyembah Allah dan tidak menyembah apapun selain Dia, untuk beribadah sebaik mungkin, membayar pengurbanan semisal Zakat, dan menjalankan puasa di bulan Ramadhan.” (Bukhari)
Rukun Islam serta Rukun Iman, didasarkan pada hal tersebut, dan para Ahmadi meyakini seluruh rukun dasar Islam tersebut.
Hadist Rasulullah SAW tersebut menjelaskan bagaimana definisi Muslim menurut beliau. Beliau tidak pernah mencela orang-orang yang mengaku muslim sebagai non-muslim. Bentuk-bentuk pelarangan dan pengucilan itu adalah ciri khas musuh-musuh beliau. Rasulullah SAW berkali-kali telah memperingatkan bahwa menilai tingkat keimanan serta keislaman seseorang adalah hak prerogatif Allah SWT. Seperti ketika Jenderal Islam Khalid bin Walid menceritakan kepada Rasulullah bahwa kondisi umat pada saat itu banyak terdapat orang yang mengumumkan bahwa dirinya beragama Islam meskipun dalam hatinya tidak ada keimanan, Rasulullah Muhammad SAW langsung menjawab dengan tegas:
“Aku tidak diperintahkan untuk memeriksa hati seseorang, maupun membelah tubuhnya (untuk mengetahui apa yang ada di dalamnya)” (HR. Muslim)
Ada pula sebuah peristiwa terkenal dimana seorang prajurit Muslim tetap membunuh seorang non-Muslim ditengah peperangan, meskipun orang tersebut (sang musuh) sesaat sebelum dibunuh, mengucapkan kalimat syahadat. Pada saat Rasullah SAW mengetahui kejadian tersebut, beliau murka, dan saat itu sang prajurit Muslim menjawab: “Ya Rasulullah, sang non-Muslim tersebut mengucap kalimat syahadat hanya demi melindungi dirinya dari pedang kita.” Rasulullah SAW pun menjawab:
“Apakah kau telah membelah hatinya dan melihat isinya?”
Bahkan pendiri agama Islam sendiri tidak diberikan kekuasaan untuk menilai keislaman seseorang. Allah SWT telah memerintahkan dalam Al Qur’an:
Orang-orang Arab (Badui) itu berkata, ‘Kami telah beriman.’ Katakanlah, “Kau belum beriman; namun katakanlah, ‘Kami telah tunduk,’ karena iman itu belum memasuki hatimu.” (49:14)
Ayat tersebut menceritakan mengenai kaum Badui yang telah diuji langsung oleh Allah SWT sebagai kaum yang belum beriman, namun diperbolehkan untuk menyebut diri mereka Muslim. Pelarangan atas pengucilan atau Takfir ditekankan dalam sabda Rasulullah SAW, yang menyamakan pengecualian tersebut dengan pembunuhan.
Lalu bagaimana budaya pemboikotan sosial serta pengucilan ini menjadi tersebar di dunia Muslim? Mengapa kini semakin banyak kelompok Muslim yang mudah melakukan pengkafiran serta menghakimi satu sama lain? Mengapa bahkan mereka yang mengaku sebagai “ulama moderat” seperti Syekh Hamza Yusuf atau Syekh Umar Al-Qadri menghakimi keimanan komunitas Muslim lainnya dengan acuh tak acuh? Apakah para ulama tersebut yakin bahwa diri mereka memiliki otoritas yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad SAW?
Ada dua cara kelompok-kelompok seperti Muslim Council of Britain ataupun kelompok ekstrimis Sunni di Pakistan untuk mengkafirkan Muslim lain, yang pertama adalah dengan mengaburkan definisi dari hadist Nabi Muhammad SAW dan menciptakan definisi lain menurut mereka sendiri. Yang kedua adalah dengan menyalahkan keyakinan Muslim lain dan memaksa mereka keluar dari definisi yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW.
Saya mengajak para ulama Muslim, kelompok-kelompok, serta negara-negara untuk menyadari bahwa tingkah sektarian mereka yang secara langsung berhubungan dengan kekerasan terhadap para Muslim Ahmadi (serta umat Muslim lainnya), bahwa pembunuhan tragis terhadap Asad Shah dapat mengarah kepada konflik sektarian yang lebih menyakitkan dan disayangkan. Saya mengundang kelompok-kelompok muslim tersebut untuk melihat keindahan dari perbedaan dan menghargai nilai yang merangkul kemajemukan dan inklusifitas dalam Islam. Saya mengajak mereka pada jalan yang ditunjukkan oleh tuntunan Nabi Muhammad; saat pertanyaan tersebut sampai pada beliau, hal tersebut sangat jelas mengenai siapa saja yang dapat disebut sebagai Muslim, jawaban beliau adalah siapapun yang menyebut diri mereka sebagai Muslim. Dan siapa yang sebenarnya adalah Muslim beriman yang sejati? Beliau menjelaskan bahwa hak untuk menilai hal tersebut hanyalah milik Allah SWT!
Sumber : Huffington Post
Alih bahasa : Irfan S. Ardiatama (ARH Library)
Editor : Rizka Argadianti Rachmah