Memberikan ruang dan menjamin hak-hak minoritas menjadi syarat membangun bangsa. Ini diyakini betul oleh Bupati Wonosobo Drs. H. Abdul Kholiq Arif, M.Si..
“Jika sebuah negara tidak mengenali hak kaum minoritas dan hak asasi manusia, termasuk hak perempuan, kita tidak akan mempunyai kestabilan dan kesejahteraan,” ujar Abdul Kholiq penuh keteguhan ketika menyampaikan Kuliah Umum di depan para peserta Konferensi Nasional Hak Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Kuningan Royal Hotel (3/6/2014).
Bagi mantan wartawan Jawa Pos ini, mengelola kabupaten Wonosobo yang plural, baik agama (Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu) maupun keyakinan (NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah, Syiah, Alif Rebo Wage atau Aboge, Salafi, dll.), dibutuhkan komunikasi yang baik kepada seluruh elemen masyarakat dan stakeholders. Dalam Kuliah Umum bertajuk “Pengalaman Pemerintah Kabupaten Wonosobo dalam Mengelola Keberagaman” kerjasama The Indonesia Legal Resource Center (ILRC), LBH Jakarta, AWC Universitas Indonesia, CRCS Universitas Gajah Mada, Yayasan Cahaya Guru, SEJUK dan HIVOS, Bupati Wonosobo memaparkan sepak terjangnya dalam merespon berbagai ketegangan-ketegangan di wilayahnya yang dipicu ancaman kelompok-kelompok Islam yang oleh sang Bupati disebut kelompok yang mengaku paling benar sendiri, yang senang mengkapling-kapling surga.
Sebelum terjadi aksi-aksi kekerasan, mereka harus segera didekati dulu dan diajak bicara dengan memberikan pemahaman untuk saling menghormati dan sama-sama menciptakan wilayah Wonosobo yang damai. Begitu upaya preventif yang ia tempuh. “Preman-preman pun harus dirangkul,” sambungnya.
Sebaliknya, jika kelompok yang merasa paling benar sendiri dan mengkapling-kapling surga itu “mencacah-cacah” hak-hak orang lain (bertindak sewenang-wenang-red), ia pun tidak segan-segan memerintahkan aparat kepolisian untuk “mencacah-cacah” mereka.
Karena itulah dialog dan berbagai pendekatan persuasif oleh sang bupati yang mengaku pernah menjadi muridnya Gus Dur ini tidak hanya didorong kepada aparat kepolisian, tentara dan tokoh-tokoh lintas agama, tetapi juga dengan mengembangkan komunitas-komunitas kecil di Wonosobo yang kini tersebar di sekitar 870 dusun, termasuk perempuan yang di dalamnya kelompok perempuan petani.
“Sekarang Wonosobo tengah mencanangkan menjadi kota yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dengan membangun fasilitas-fasilitas yang ramah dan memihak kelompok perempuan, difabel, dan anak-anak,” demikian optimisme Khiliq Arif yang pada tanggal 23 Mei lalu diganjar “Penghargaan Pluralisme” sebagai pemimpin daerah penegak kebebasan beragama dan berkeyakinan oleh Jaringan Antariman Indonesia. (Thowik SEJUK)